BelajarEnergi.com – Indonesia merupakan negara yang memiliki keragaman sumber daya energi yang banyak, yaitu minyak bumi, gas alam, batubara, dan energi baru terbarukan. Namun, kita memiliki ketergantungan besar terhadap salah satu sumber daya energi tersebut yaitu minyak bumi.
Perlu kita ketahui bersama bahwa cadangan terbukti minyak bumi Indonesia hanya sebesar 3,5 miliar barel dengan produksi saat ini sebesar 750.000 barel per hari (bph). Kalau tidak ada temuan baru dan asumsi produksi tetap, maka diperkirakan bakal habis dalam 10 tahun ke depan. Sementara itu, konsumsi minyak nasional kita saat ini sudah mencapai 1,7 juta bph, sehingga kekurangan sekitar 950.000 bph harus diimpor.
Menurut data Badan Pusat Statistik (2019), pemerintah harus menyiapkan sekitar USD 51,7 juta atau setara dengan Rp 725 Milyar (asumsi Rp 13.997/USD) untuk impor setiap hari. Coba bayangkan kalau itu dikalikan 1 bulan bahkan 1 tahun? Pasti besar sekali kan anggaran yang harus disiapkan. Apalagi dunia Internasional telah menyepakati dari dulu berdasarkan Paris Accord/Agreement 2016 untuk mengurangi emisi karbon hasil dari bahan bakar fosil. Selain itu, Bank Dunia pun sudah memberikan ultimatum untuk menyetop bantuan dana untuk eksplorasi energi fosil khususnya minyak bumi.
Nah sebenarnya, pemerintah Indonesia yang mengikuti Paris Agreement tersebut juga telah menyepakati untuk ikut andil dalam mengurangi emisi karbon global dengan melakukan diversifikasi energi. Menurut PP No. 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional, terdapat Kebijakan Utama yaitu mengoptimalkan pemanfaatan gas alam dan energi baru terbarukan.
Gas alam merupakan energi yang lebih bersih dibandingkan minyak bumi kendati berasal dari proses atau sumber batuan yang sama. Namun karena ikatan kimiawi molekulernya yang berbeda, yaitu ikatan rantai hidrokarbon yang lebih pendek/sedikit (C1-C4), menyebabkan pembakaran yang dihasilkan oleh sumber energi tersebut menjadi lebih sempurna & sedikit sekali melepaskan karbon ke atmosfer. Sembari menyiapkan regulasi, insentif, dan infrastruktur untuk pengembangan Energi Baru Terbarukan (EBT) sesuai Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), optimalisasi gas alam untuk kebutuhan domestik adalah salah satu langkah yang tepat mengingat pada tahun 2023 terdapat kontrak ekspor gas alam Indonesia yang akan berakhir dan adanya permulaan berbagai proyek gas alam baru.
Cadangan Gas Alam Indonesia
Cadangan gas alam Indonesia per 1 Januari 2017 menurut Ditjen Migas sebanyak 142,72 trillion cubic feet (tscf) dengan komposisi cadangan terbukti sebesar 100,36 tscf dan cadangan potensial 42,36 tscf. Kalau tidak ada penemuan cadangan baru nih, dengan tingkat pemakaian / pemanfaatan gas alam saat ini dan menimbang produksi rata-rata dari 2012-2017 sebesar 2,9 tscf/tahun, maka gas alam Indonesia diperkirakan akan habis 49 tahun mendatang. Selain dari gas alam konvensional, Indonesia masih punya lho potensi gas alam non konvensional, yaitu gas metana batubara atau CBM (Coalbed Methane) sebesar 453 tscf dan gas serpih (shale gas) sebesar 574 tscf.
Komposisi Gas Alam Indonesia
Perlu diketahui dulu sebenarnya komposisi gas alam Indonesia apa saja sih? Komposisi gas alam Indonesia terdiri dari Metana (CH4) sebesar 80-95%, Etana (C2H6) sebesar 5-15%, dan Propana (C3H8) – Butana (C4H10) sebesar < 5%. Akibatnya apa? Secara alamiah, memang produk yang akan dihasilkan dari gas alam Indonesia untuk Liquefied Petroleum Gas/LPG (C3-C4) akan lebih sedikit dibandingkan Liquefied Natural Gas/LNG (C1-C2). Kilang LPG & LNG di Indonesia tersebar dari Pulau Sumatera hingga Papua dengan kapasitas total terpasang LNG sebesar 42,09 million ton per annum (mmtpa) dan LPG sebesar 4,59 mmtpa. Perbandingan yang sangat jauh bukan?
Nah, karena komposisi C3-C4 di gas alam kita lebih sedikit, maka akan terjadi ketidakseimbangan produksi terhadap konsumsi LPG kita sekarang ini. Seperti yang kita ketahui, bahwa kebijakan reformasi energi dari minyak tanah ke LPG sangatlah sukses sehingga menyebabkan konsumsinya terus meningkat setiap tahunnya. Terlebih produksi LPG cenderung menurun dari tahun 2014 sampai tahun 2018. Penurunan produksi terbesar diperoleh dari penurunan produk kilang LPG pola hulu. Dari kilang LPG pola hulu tersebut penurunan terbesar diperoleh dari penurunan produk LPG dari kilang PT. Badak NGL. Dari total produksi kilang LPG sebesar 2,027 juta ton hanya dapat memenuhi kebutuhan LPG dalam negeri sebesar ± 27% (konsumsi LPG subsidi dan non subsidi dalam negeri tahun 2018 adalah 7,576 juta ton) dengan sisanya dipenuhi dari impor LPG.
Kebijakan Pemerintah Saat Ini

Untuk menekan impor LPG ke depannya, pemerintah telah mencanangkan program pembangunan infrastruktur gas berupa jaringan gas (jargas) kota sejak tahun 2010 hingga 2030 mendatang. Upaya pemerintah ini adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mewujudkan ketahanan energi nasional sesuai dengan Perpres No. 6 Tahun 2019 tentang Penyediaan & Pendistribusian Gas Bumi untuk Rumah Tangga & Pelanggan Kecil. Jargas ini dibangun mirip dengan jaringan listrik PLN yang terdapat meteran penggunaannya. Perlu diketahui bahwa syarat pembangunan jargas rumah tangga bisa terbangun di suatu daerah adalah:
- Dekat dengan sumber gas/infrastruktur gas
- Spesifikasi gas alam terpenuhi (tidak membahayakan masyarakat)
- Terdapat potensi pasar pengguna jargas
- Adanya komitmen dari pemerintah daerah
- Memenuhi kaidah keselamatan & keteknikan
Bagaimana sih perkembangannya saat ini? Pembangunan jargas kota hingga tahun 2019 telah mencapai 537.000 Sambungan Rumah (SR) dengan realisasi capaian tahun 2019 sebesar 74.496 sesuai target APBN. Jargas saat ini sudah tersebar dari Pulau Sumatera hingga Papua. Manfaat jargas bagi rumah tangga adalah:
- Lebih hemat, karena dapat mengurangi biaya rumah tangga sekitar Rp 90.000/bulan
- Lebih praktis, tidak lagi repot beli tabung LPG
- Lebih bersih, aman, dan ramah lingkungan dibandingkan tabung LPG 3 kg
Selain jargas kota ini, pemerintah telah mewacanakan pengembangan program gasifikasi batubara menjadi Dimethyl Ether (DME) sebagai upaya substitusi Liquified Petroleum Gas (LPG). DME ini dibuat dengan cara melakukan reaksi antara gas CO dengan H2 (syn-gas) yang dapat diperoleh dari proses gasifikasi batubara dan biomassa. Yang paling memungkinkan saat ini dan menjadi concern pemerintah adalah dengan menggunakan batubara berkalori rendah yang mana tidak bisa ditransportasikan.
Batubara berkalori rendah ini juga dinilai lebih ekonomis karena harganya yang paling murah sehingga diharapkan hasil dari DME ini lebih murah daripada LPG. Proyek gasifikasi batubara ini ditargetkan oleh kerjasama antara PT. Pertamina & PTBA akan beroperasi penuh pada tahun 2024. Kedua BUMN ini telah melakukan joint-venture dengan perusahaan Amerika Serikat (Air Product & Chemical Inc.) dan proyek pembangunan dilaksanakan di Tanjung Enim karena yang paling efisien dari segi belanja modal, biaya operasional dan dukungan infrastruktur yang ada.
Baca juga: Cadangan Batubara Indonesia Terbesar ke-5 di Dunia dan Pemanfaatannya Saat Ini
Selain untuk pemanfaatan dari segi industri dan rumah tangga, pemerintah juga sudah melakukan ancang-ancang untuk penggunaan gas alam pada transportasi darat dengan melakukan pembangunan Stasiun Pengisian Bahan Bakar Gas (SPBG). Hal ini tertuang dalam Perpres No. 64 Tahun 2012 tentang Penyediaan, Pendistribusian, dan Penetapan Harga BBG untuk transportasi. Badan Usaha yang ditugaskan untuk pembangunan itu adalah Perusahaan Gas Negara (PGN), Pertamina, dan ada swasta juga. SPBG ini sudah tersebar dari Sumatera & Jawa. Penggunaan BBG saat ini masih terbatas pada transportasi umum seperti taksi, BRT di kota2 besar (Jakarta, Semarang, Yogyakarta) dan bajaj serta kendaraan dinas pemerintah.

Jenis BBG yang sudah digunakan di pasaran ada 2 macam nih yaitu Compressed Natural Gas (CNG) yang terdiri dari C1-C2 dan (Liquefied Petroleum Gas for Vehicle) yang terdiri dari C3-C4. Kalau produk yg ada di SPBU Pertamina namanya Vi-Gas untuk LGV dan EnvoGas utk CNG. Harganya tentu lebih murah ketimbang BBM-BBM yang dijual di pasaran yaitu CNG/Envogas = sekitar Rp 3.100/Liter setara Premium (Lsp) dan LGV/Vi-Gas= Rp 5.100/Lsp.
Menurut Kementerian ESDM, penggunaan BBG ini masih paralel dengan upaya pemerintah dalam mendorong kendaraan listrik. Namun, memang sangat disayangkan bahwa Indonesia masih memiliki 100 SPBG sedangkan Thailand sudah memiliki lebih dari 1.000 SPBG. Selain Thailand, ada pula Jepang, India, Turki, dan Korea Selatan. Jepang dan Korea Selatan juga merupakan negara tujuan ekspor gas Indonesia, sungguh ironis ketika mereka yang lebih banyak memanfaatkan BBG tersebut dibandingkan kita yang punya sumber energi melimpah tersebut.
Nah bagaimana nih kalau mau menggunakan BBG utk kendaraan pribadi?
Caranya gampang sooob….Tinggal beli converter kit-nya saja, yang mana tidak membutuhkan pembongkaran mesin yang masif. Dan….uniknya, masih bisa lho pakai BBM kalau gasnya tiba2 habis karena ada automatic switch-nya. Memang sih harga converter-nya yang mahal (sekitar Rp 13,5 juta dan ketersediaan BBG yang terbatas masih menjadi kendala besar bagi masyarakat. Namun, tentu saja manfaatnya selain mengurangi emisi CO/CO2, juga lebih hemat dalam penggunaan.
Pemerintah juga melakukan program konversi BBM ke BBG untuk nelayan yg bertujuan tentunya utk mengurangi penggunaan BBM dan agar lebih hemat. Nelayan diberikan konverter kit LPG yang dapat menghemat operasional melaut hingga Rp 50.000/hari.
Pangsa Gas Alam di Dalam Negeri
Perlu diketahui juga bahwa berbeda dengan tahun 2000-an, saat ini penyediaan gas bumi untuk pasar domestik lebih besar dibandingkan untuk ekspor. Dari total produksi gas alam di tahun 2017 (7.619,60 MMSCFD), pemanfaatan gas alam Indonesia 58.59% diserap oleh domestik dan 41.41% untuk ekspor. Penyerapan domestik meliputi sektor industri sebesar 23.18%, sektor kelistrikan sebesar 14.09%, sektor pupuk sebesar 10.64%, lifing Migas sebesar 2.73%, LNG Domestik sebesar 5.64%, LPG Domestik sebesar 2.17% dan 0.15% untuk Program Pemerintah berupa Jargas Rumah Tangga dan SPBG. Untuk ekspor gas pipa sebesar 12.04% dan LNG Ekspor 29.37%.
Penggunaan gas alam saat ini juga diimplementasikan ke Ketenagalistrikan karena harganya yang lebih murah dibandingkan PLT Batubara dan Diesel. Perlu diketahui pula bahwa Rasio Elektrifikasi (RE) Nasional kita di tahun 2019 sudah mencapai 98,89%. Namun ada yang aneh, ternyata hanya NTT yang RE-nya tidak sampai 90% atau masih 85% dibandingkan yang lainnya. Untuk meningkatkan RE-nya tersebut, penggunaan gas alam selain PLT yang lain bisa menjadi opsi yang baik karena selain harganya yang lebih murah, juga akan mendongkrak penggunaan domestik demi mencapai RE 100% pada tahun 2020 ini.
Sebagai perbandingan, biaya operasional untuk Pembangkit Listrik Tenaga Mesin Gas (PLTMG) di Flores sebesar Rp 2.300/KWH yang mana lebih murah dibandingkan memakai diesel yaitu Rp 2.800/KWH. Selain itu, PLTG/MG dapat digunakan untuk Kawasan Industri yang memiliki jarak jauh dari Gardu Induk PLN. Blok yg terdekat di situ ada Lapangan Gas Abadi Masela di Laut Arafuru, Lapangan Gas Tangguh di Papua & Kilang Donggi Senoro LNG di Sulawesi.
Baca juga: Kondisi Ketenagalistrikan Indonesia dan Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN) 2019-2038
Surplus Gas dan Strategi yang Harus Dilakukan Pemerintah
Nah seperti yang sudah disebutkan sebelumnya bahwa menurut data KESDM, Indonesia akan menikmati surplus gas alam pada tahun 2023 karena ada beberapa kontrak ekspor yang akan berakhir. Momentum ini harus dioptimalkan oleh pemerintah dengan serius mengingat masih ada sekitar 41% yang bisa dimanfaatkan untuk kebutuhan domestik. Memang tantangan utamanya adalah harga gas yang selalu fluktuatif mengikuti perkembangan pasar dunia menjadi salah satu momok tersendatnya serapan gas domestik di Indonesia. Di sinilah peran pemerintah untuk menerapkan berbagai insentif kepada pengusaha agar terstimulus dalam pemanfaatan ini baik di bidang industri maupun sektor transportasi.
Neraca gas bumi Indonesia diperkirakan akan terus surplus hingga berhenti pada tahun 2025-2027, karena terdapat potensi kebutuhan gas lebih besar daripada pasokannya. Namun, hal ini belum mempertimbangkan adanya potensi pasokan dari penemuan cadangan baru dan kontrak gas di masa mendatang seperti Blok Masela dan Blok East Natuna. Untuk mengatasi kekurangan dalam penyediaan gas, perlu mempertimbangkan secara serius untuk eksplorasi gas non konvensional dan mengimpor gas dalam bentuk LNG. Perlu diingatkan lagi bahwa potensi gas alam non konvensional sangat besar dan sayang sekali jika tidak dimanfaatkan, yaitu gas metana batubara atau CBM (coal bed methane) sebesar 453 TSCF dan gas serpih (shale gas) sebesar 574 TSCF.
Penulis: Riko Susetia Yuda
Artikel Terkait
Penemuan Sumur Minyak di Bekasi oleh Pertamina, Reservoir Minyaknya Mencapai 92,79 Juta Barel
Pertamina Patra Niaga Menggelar Resmi 51 Penyalur BBM Satu Harga Terbaru di Wilayah 3T
Energi Fosil Adalah: 3 Keuntungan dan Tantangan dalam Era Modern