BelajarEnergi.com – Kita sebagai Warga Negara Indonesia patut bersyukur karena negara ini dianugerahi sumber daya energi yang begitu beragam dan memiliki potensi yang besar, mulai dari batubara, minyak bumi, gas alam, dan energi baru terbarukan. Sumber daya energi yang paling lama dimanfaatkan oleh masyarakat Indonesia hingga saat ini adalah minyak bumi. Minyak bumi merupakan sumber daya energi yang berasal dari material organik makhluk hidup yang terkubur selama berjuta-juta tahun kemudian berubah menjadi batuan sedimen dan mengalami proses penimbunan dan pematangan menjadi fluida hidrokarbon serta bermigrasi dan terperangkap di dalam suatu sistem petroleum.
Pemanfaatan minyak bumi untuk bisa dinikmati oleh masyarakat tentu saja mengalami berbagai proses, mulai dari eksplorasi, produksi, pemurnian (refinery), hingga distribusi. Eksplorasi ini merupakan seluruh kegiatan untuk menemukan sumber energi berupa hidrokarbon yang terperangkap dalam suatu sistem petroleum di dalam kerak bumi. Produksi merupakan serangkaian kegiatan setelah berhasilnya kegiatan eksplorasi untuk mengambil hidrokarbon yang terperangkap dalam suatu sistem petroleum di dalam kerak bumi dalam kurun waktu tertentu sesuai dengan cadangan yang ditemukan.
Pemurnian atau yang biasa disebut pengilangan merupakan serangkaian kegiatan untuk memurnikan hidrokarbon hasil produksi di dalam kilang menjadi produk-produk turunan yang dapat dikonsumsi langsung oleh konsumen. Kemudian masuk ke fase distribusi untuk mengangkut hasil pengilangan ke konsumen akhir.
Lantas, bagaimana kondisi minyak bumi Indonesia saat ini? Mari kita kupas tuntas di sini!
Masa Kejayaan Minyak Bumi Indonesia
Dikutip dari cnbcindonesia.com, Indonesia dulu pernah berjaya sebagai negara produsen minyak bumi dunia dengan produksi yang cukup besar. Minyak bumi nasional mulai dieksploitasi pada tahun 1966 yang kemudian pada tahun 1977 mencapai puncaknya yaitu sebesar 1,68 juta barel/hari (bph) (Gambar 1) yang disumbang oleh lapangan Minas dan Duri di Riau yang dikelola Chevron. Masa kejayaan industri minyak bumi berlangsung dari era 70-an hingga awal 2000-an yang mana produksinya konsisten di atas 1,2 juta bph.
Indonesia tercatat sebagai net-eksportir minyak bumi hingga tahun 2003. Indonesia pun tercatat sebagai anggota dalam Organisasi Negara-Negara Pengeskpor Minyak (OPEC) pada tahun 1962-2008. Ketika neraca minyak bumi nasional menunjukkan ekspor lebih besar daripada impor, maka Indonesia sangat diuntungkan dalam perdagangan.
Saat itu, iklim ekonomi global juga sangat mendukung terjadinya eksploitasi besar-besaran minyak bumi. Hal ini didorong oleh oil-boom saat krisis minyak global yang diakibatkan oleh OPEC menekan produksi minyak mentah di Timur Tengah untuk memboikot Israel sejak tahun 1973. Harga minyak mentah dunia langsung melonjak dari US$ 1,7/barel di tahun 1970-an, naik hampir 10 kali lipat menjadi US$ 12/barel.
Meroketnya harga memicu para pelaku migas global menggenjot produksi secara gila-gilaan dan melakukan eksplorasi secara besar-besaran guna memperoleh cadangan baru. Harga minyak bahkan terus mengalami kenaikan hingga US$ 23/barel di tahun 1996. Sungguh suatu keuntungan yang besar bagi Indonesia saat itu.
Masa Indah itu Mulai Sirna
Yah, berbekal cadangan yang terbilang tidak besar dan manajemen industri yang kurang mumpuni, Indonesia harus mulai menelan pil pahit anjloknya produksi minyak bumi yang terus terjadi. Hanya 20 tahun saja Indonesia mengalami masa kejayaan industri minyak bumi. Selebihnya? Tren anjloknya produksi minyak mulai terasa sejak tahun 1996. Produksi pun sudah tidak lagi mencapai 1 juta bph mulai tahun 2007 hingga saat ini. Kala itu produksi hanya mencapai 954,34 bph.
Berdasarkan Laporan Tahunan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) tahun 2019, realisasi lifting minyak bumi hanya mencapai 746.000 bph. Tren penurunan ini akan terus berlanjut hingga tahun 2050 karena sumur-sumur minyak yang kondisinya semakin tua. Ditambah lagi, belum ada penemuan cadangan minyak baru yang besar. Menurut prediksi SKK Migas pula (Gambar 1), produksi minyak bumi di tahun 2026 akan menyentuh nilai terendahnya sejak 1996 yaitu hanya sebesar 513,47 bph.
Cadangan Minyak Bumi Indonesia
Berdasarkan data dari Kementerian ESDM (2020), cadangan minyak bumi Indonesia per 1 Januari 2018 sebesar 7,51 milyar barel (Gambar 2) yang terdiri dari cadangan terbukti atau proven reserves (P1) sejumlah 3,15 milyar barel, cadangan mungkin atau probable reserves (P2) sejumlah 2,29 milyar barel, dan cadangan harapan atau possible reserves (P3) sejumlah 2,06 milyar barel. Cadangan terbukti (P1) merupakan cadangan yang telah dihitung keekonomiannya berdasarkan bukti keberadaannya melalui pemboran. Cadangan mungkin (P2) dan harapan (P3) sejumlah 4,35 milyar barel memiliki potensi untuk dilakukan pengembangan lebih lanjut melalui ekplorasi detail dan pemboran serta teknologi yang lebih maju. Cadangan terbukti pun memiliki potensi untuk meningkat seiring dengan adanya pengembangan lebih lanjut melalui eksplorasi, pemboran (infill drilling), maupun teknologi Enhanced Oil Recovery (EOR) atau Improved Oil Recovery (IOR).
Cadangan terbukti terbesar menurut peta cadangan tersebut berada di wilayah Sumatera Tengah yaitu sebesar 662,1 juta barel. Wilayah Sumatera Tengah merupakan wilayah yang terdapat lapangan Minas dan Duri di Blok Rokan, Riau yang dikelola oleh Chevron. Kemudian disusul oleh wilayah Jawa Barat yaitu sebesar 604,6 juta barel dan Jawa Timur sebesar 593,1 juta barel hingga yang paling sedikit adalah wilayah Sumatera Utara yaitu sebesar 57,1 juta barel.
Tren cadangan minyak bumi mengalami penurunan sekitar 19% pada rentang tahun 2004-2018 (Gambar 3). Hal ini disebabkan oleh belum adanya penemuan baru cadangan minyak bumi yang besar. Penemuan cadangan baru di Blok Cepu di tahun 2011-2012 pun ternyata tidak berpengaruh secara signifikan terhadap peningkatan cadangan nasional.
Cadangan terbukti nasional yang hanya sejumlah 3,15 milyar barel menempatkan Indonesia di posisi 29 dunia. Cadangan tersebut hanya sekitar 0,2 % dari cadangan terbukti dunia (BP Statistical Review, 2018). Jika diproyeksikan dengan produksi rata-rata per tahun sebesar 281 juta barel dan tidak ditemukannya cadangan baru, maka minyak bumi Indonesia akan habis dalam kurun waktu 11 tahun ke depan.
Cadangan terbukti nasional di tahun 2018 ternyata mengalami koreksi hingga 0,29% atau sebesar 0,02 milyar barel dibandingkan tahun 2017 yang sebesar 7,53 milyar barel (Gambar 4). Namun, hal berbeda terjadi pada Reserves Replacement Ratio (RRR). Reserves Replacement Ratio atau rasio penggantian cadangan merupakan perbandingan penambahan cadangan terbukti terhadap produksi secara keseluruhan pada relatif tahun tertentu (Lorne Stockman, 2011). Di tahun 2018, Capaian kinerja RRR minyak bumi menyentuh angka 117% yang mana melebihi target yang telah ditetapkan pemerintah dan lebih besar daripada tahun 2017 yang hanya mencapai 112%.
Masihkah Bergantung pada Minyak Bumi?
Konsumsi minyak nasional saat ini sudah mencapai 1,7 juta bph. Dengan total produksi yang hanya sebesar 750.000 bph, maka harus impor sekitar 950.000 bph. Seperti yang pernah dibahas pada artikel sebelumnya (Baca: Intip Yuk Gas Alam Indonesia yang Punya Cadangan 142 TSCF!), pemerintah ternyata harus menyiapkan dana sekitar Rp 725 milyar rupiah untuk impor minyak setiap harinya. Kondisi ini tentu saja akan terus membebani keuangan negara karena konsumsi minyak nasional tentunya yang akan terus meningkat jika tidak dikendalikan.
Berdasarkan publikasi Buku Bauran Energi Nasional 2020 oleh Dewan Energi Nasional, capaian bauran minyak bumi terhadap bauran energi primer memang terus mengalami penurunan dari tahun ke tahun. Tercatat dari 46,48% di tahun 2015 menjadi sebesar 33,58% di tahun 2019. Namun bauran tersebut masih menduduki peringkat kedua terbesar, hanya kalah dari batubara yang sebesar 37,15% dan unggul jauh dari gas bumi yang sebesar 20,13%.
Sebagai pengingat, target bauran energi primer untuk minyak bumi sesuai RUEN adalah 25% di tahun 2025 dan 20% di tahun 2050. Tentu saja jika tidak ada upaya yang serius dari pemerintah, target tersebut tidak akan tercapai dan keuangan negara akan terus terbebani oleh impor minyak. Upaya yang harus dilakukan secara konsisten adalah optimalisasi pemanfaatan gas bumi, batubara, dan pengembangan energi baru terbarukan (EBT). Optimalisasi pemanfaatan gas bumi adalah sebagai pembangkit listrik dan bahan bakar gas (BBG). Kemudian implementasi yang lebih luas untuk EBT yaitu BBN yang tidak hanya sebatas biodiesel saja namun bisa merambah ke BBM jenis lainnya dan percepatan impelementasi B40-B50. Selain itu, percepatan implementasi kendaraan berbasis listrik pun harus dilakukan agar terjadi diversifikasi penggunaan energi.
Jika kemudian Indonesia benar-benar dapat meninggalkan minyak bumi dalam bauran energi nasional, lantas apakah cadangan minyak bumi yang tersisa akan menganggur begitu saja?
Tentu saja tidak, penggunaan minyak bumi tidak sebatas sebagai energi saja, namun industri petrokimia masih sangat membutuhkan minyak bumi ini. Jika penggunaannya di bidang energi bisa diminimasisasi, tentu saja produksi petrokimia nasional akan meningkat.
Namun, sebelum itu benar-benar terjadi, alangkah baiknya kita mulai dari diri kita sendiri. Berhematlah dalam menggunakan kendaraan berbahan bakar fosil, baik itu di masa pandemi ini maupun pasca pandemi nanti. Seringlah menggunakan transportasi umum seperti bus rapid transit (BRT) dan bemo yang menggunakan BBG, MRT/KRL/LRT yang menggunakan listrik, dan bersepeda ke tempat-tempat yang jaraknya tidak terlalu jauh. Selain bisa memperpanjang usia cadangan minyak bumi kita, juga bisa mengurangi polusi udara.
Penulis: Riko Susetia Yuda
Artikel Terkait
Harga Minyak Dunia Juli 2022 Turun Gara-gara Permintaan Global Indolen
Dampak dari Krisis Energi 2021 Menghantui Dunia di Tengah Pandemi Covid-19
Outlook Energi Indonesia 2021